Abstract
This
research describes the policy of Malaysia in teriotrial dispute.
This conflict start began in 1965 when Malaysia be a state President Soekarno was not supported
because it can be a recolonialisme in Asia. Nowdays, diplomatic relations
between Indonesia and Malaysia always fluctuatif, it is because dipute conflict
likes Sipadan ligitan island, Ambalat, Tanjung Datuk, Camar Bulan and conflict
of culture.
The
writer collects data from books, encyclopedia, journal, mass media and websites
to analyze the conflict between Indonesia and Malaysia. The perspective applied
in this research are realisme and theories use are strategy theory by John
P.Lovell and diplomacy theory from S.L Roy and KM. Panikkar,
diplomacy setting theory from John
T. Rourke and national interest concept from Donald. E. Nuchterlain.
The
research shows that strategy of Indonesia with the policy of Malaysia in
dispute teritory in 2006-2010 are internal strategy dan external strategy.
Internal strategy Indonesia are Indonesia explore the extern island, make the
new map of dispute, development of dispute teritory and create a base military. And external strategy of
Indonesia are use diplomacy ways with Indonesia deal of Kinabalu dialogs,
Indonesia deal with Malaysia in maintanance Malacca Straits and Indonesia deal
with China in defense agreements.
Key words: conflict, dispute, strategy, diplomacy
Pendahuluan
Penelitian ini merupakan
sebuah kajian strategi dan diplomasi
keamanan yang menganalisis strategi Indonesia
menghadapi kebijakan Malaysia di wilayah perbatasan tahun 2006-2010.
Secara khusus penelitian ini difokuskan pada strategi yang akan diterapkan oleh
Indonesia dalam menghadapi aksi-aksi Malaysia di wilayah
perbatasan Indonesia terkait dengan permasalahan pengklaiman dan kepemilikan wilayah
perbatasan darat dan laut antara Indonesia dan Malaysia.
Penelitian ini
bersifat deskriptif analitis yang diawali dengan menggambarkan
fenomena-fenomena yang terjadi berkaitan dengan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia terkait
isu permasalahan persengketaan wilayah perbatasan.
Setelah itu akan dilanjutkan dengan menganalisa mengenai kebijakan-kebijakan Malaysia di wilayah perbatasan
Indonesia. Dengan adanya kebijakan Malaysia di wilayah perbatasan Indonesia
tentu saja hal ini secara politik dan kedaulatan mengancam wilayah kedaulatan
Indonesia.
Teknik
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Pada metode ini,
data- data yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas merupakan
data-data sekunder yang didapatkan dari buku-buku, majalah-majalah, jurnl,
surat kabar,
buletin, laporan tahunan dan sumber-sumber lainnya. Peneliti juga
menggunakan sarana internet dalam proses pengumpulan data yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian yang akan
dibahas.
Dalam rangka
memberikan fokus yang lebih tajam terhadap permasalahan yang dibahas, maka
peneliti merasa perlu untuk memberikan batasan waktu dalam penelitian ini.
Adapun rentang waktu yang akan peneliti maksud adalah antara tahun 2006-2010 pada masa pasca kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan.
Tahun 2006
dipilih karena pada saat itu Indonesia
mengalami lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002 serta permasalahan
Blok Ambalat pada tahun 2005 dalam proses
perundingan. Namun begitu batasan
tahun pada penelitian ini bukan merupakan suatu hal yang mutlak, tahun-tahun
sebelum dan sesudahnya juga akan menjadi bagian dari kajian penelitian ini.
Sebagai
kerangkan acuan untuk menjawab permasalahan penelitian, maka peneliti akan
menggunakan perspektif realis yang mempunyai tema Struggle for power and security. Hubungan internasional ditandai
dengan anarki, segala cara dilakukan untuk mencapai kepentingan nasional.
Morgenthau menyatakan bahwa super power adalah
fokus utama hubungan internasional, power
adalah alat untuk mencapai kepentingan nasional (national interest). Tingkat analisa yang digunakan adalah Negara
bangsa (nation state) dengan alasan
bahwa objek utama dalam hubungan internasional adalah perilaku Negara bangsa,
dengan asumsi bahwa semua pembuat keputusan, dimanapun berada, pada dasarnya
berperilaku sama apabila menghadapi situasi yang sama.
Donald E.
Nuchterlain mengemukakan kepentingan sebagai kebutuhan yang dirasakan oleh
suatu Negara dalam hubungannya dengan Negara lain yang merupakan lingkungan
eksternalnya.[1]
Kepentingan nasional inilah yang memberikan kontribusi yang besar bagi
pembentukan pandangan-pandangan keluar bagi suatu bangsa. Kepentingan nasional
menurut Donald E. Nuchterlain terbagi atas empat poin, yaitu: [2]
1.
Defense Interest
2.
Economic Interest
3.
World Order Interest
4.
Ideological Interest
Berdasarkan
pendapat Donald E. Nuchterlain, maka strategi
Indonesia menghadapi kebijakan Malaysia di wilayah perbatasan tahun
2006-2010, adalah Indonesia berusaha untuk mempertahankan dan
memperjuangkan kepentingan nasionalnya, terutama
dalam bentuk Defense interest.
Berdasarkan kepentingan pertahanan
keamanan
maka strategi yang
dilakukan Indonesia dalam membangun pertahanan di wilayah perbatasan dan
melakukan kerjasama pertahanan dan keamanan bersama dengan Malaysia dan Cina
adalah untuk mengamankan kepentingan keamanan dan pertahanan Indonesia dalam
persengketaan wilayah perbatasan.
Berikut
ini adalah matrix strategi yang disusun oleh Donald E. Nuchterlain mengenai
kepentingan nasional negara Indonesia dalam melakukan hubungan dan
mengedepankan kepentingan nasionalnya dengan Malaysia khususnya dalam permasalahan penjagaan wilayah
perbatasan, yaitu sebagai berikut:
National
Interest Matrix
Basic Interest of
State
|
Intensity of
Interest
|
|||
Survival
|
Vital
|
Major
|
Peripheral
|
|
Defense of
Homeland
|
![]() |
|
|
|
Economic of
Wellbeing
|
|
|
|
|
Favorable World
Order
|
|
|
|
|
Promotion of
Values
|
|
|
|
|
Sumber: Donald E. Nucterlain. National Interest A new
Approach, Orbis. Vol 23. No.1 (Spring). 1979.
Berdasarkan matrix yang digambarkan
oleh Nuchterlain tersebut, bahwa semakin garis diagonal mengarah ke kepentingan
keamanan terhadap wilayah teritorial dan permasalahan survival atau eksistensi
teritorial sebuah negara maka akan semakin menjadi permasalahan yang penting
bagi sebuah negara. Dan sebuah negara harus melakukan beberapa alternatif dalam
menghadapi ancaman teritorial terhadap wilayah teritorial negaranya.
Hal ini juga terjadi dengan
Indonesia, dimana dengan adanya kebijakan-kebijakan Malaysia di wilayah
perbatasan yang sering melakukan pengklaiman terhadap wilayah laut dan darat
perbatasan Indonesia dan Malaysia, maka Indonesia harus menerapkan alternatif
strategi yang secara rasional bisa digunakan karena kepentingan wilayah
teritorial merupakan eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara.
Selain itu, untuk menghadapi kebijakan Malaysia di
wilayah perbatasan Indonesia, maka Indonesia harus merumuskan komponen strategi
yang bertujuan untuk mengamankan kepentingan Indonesia. Strategi dalam pengertian yang luas
dapat didefinisikan sebagai “ the art or science of shaping means so as to
promote ends in any field of conflict”. Dalam kajian Strategi, the means to be shaped adalah militer, the
field of conflict adalah sistem internasional, dan ends adalah
tujuan politik aktor yang cukup luas dan menunjukkan adanya konteks
internasional yang cukup signifikan.
Perkembangan
konsep strategi ini saat ini adalah berkembangnya pemikiran konsep strategi
yang tidak hanya penggunaan force militer
terhadap negara lain, tetapi juga penggunaan kekuatan non militer seperti
politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan yang merupakan unsur-unsur
strategi damai yang saat ini banyak digunakan oleh negara-negara di dunia
internasional dalam menghadapi negara-negara lain.
Berdasarkan
penjelasan diatas, maka Van Clausewits menggambarkan perkembangan konsep
strategi dapat dilihat sebagai berikut:
Model
penggunaan Konsep Strategi




Selanjutnya, menurut
KM Panikkar dalam bukunya yang berjudul The
Principle of Diplomacy, maka diplomasi dalam hubungannya dengan politik internasional
merupakan seni dalam mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya
dengan negara lain,[3]
yang dalam hal ini merupakan kepentingan nasional suatu negara dalam dunia
internasional, namun oleh sebagian pandangan diplomasi lebih menekankan
terhadap negosiasi–negosiasi perjanjian atau sebagai posisi tawar-menawar
dengan negara lain.
Diplomasi sangat erat dengan penyelesaian
permasalahan–permasalahan yang dilakukan dengan cara–cara damai, tetapi apabila
cara–cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi
mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai
tujuan–tujuannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa perang juga merupakan salah
satu sarana dalam diplomasi di dunia internasional. Tujuan diplomasi bagi setiap negara adalah pengamanan kepentingan nasional, kebebasan politik
dan integritas teritorial dan fungsi utama dari pelaksanaan diplomasi adalah negosiasi.[4] Ruang lingkup diplomasi
adalah meyelesaikan perbedaan-perbedaan dan menjamin kepentingan-kepentingan
negara melalui negosiasi yang sukses.
1. Soft Diplomacy: diplomasi dalam bentuk
penyelesaian secara damai dalam bidang kebudayaan, bahasa, persahabatan dan
ekonomi.
2. Hard Diplomacy: diplomasi dalam bentuk
perang, yaitu agresi militer dan politik.
Diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia terhadap kebijakan Malaysia adalah dengan menggunakan soft diplomacy dan hard diplomacy. Indonesia menggunakan cara soft diplomacy dengan mengikuti perundingan bilateral dengan
Malaysia serta menyerahkan penyelesaian permasalahan kepemilikan pulau Sipadan
dan Ligitan kepada pihak ketiga yaitu Mahkamah Internasional. Selain itu,
Indonesia juga
menggunakan hard diplomacy dengan
cara
meningkatkan kekuatan militernya dan melakukan kerja sama pertahanan dengan
negara Cina dan Rusia untuk menghadapi kebijakan Malaysia di wilayah perbatasan
setelah lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan.
Menurut John T. Rourke, hakikat dan peranan diplomasi dipengaruhi oleh
setting (lingkungan) yang disebut
dengan diplomacy setting.[6] Setting disini dimaksudkan sebagai kondisi yang memiliki peranan penting
dalam menciptakan output diplomacy.
Lingkungan diplomasi terbagi dalam tiga bagian yaitu:
1. Sistem Internasional
Menurut kaum realis hakekat dari
sistem internasional yang anarki telah menciptakan sebuah setting dimana para aktor yang memiliki kepentingan sendiri dalam
tujuan diplomatik menggunakan power yang
dimilikinya untuk mencapai kepentingan mereka diatas kepentingan pihak lain.
Hal yang perlu ditekankan kembali bahwa sistem internasional tidak mempunyai
badan otoritatif dalam menyelesaikan permasalahan yang ada sehingga setiap
Negara harus berjuang sendiri dengan menggunakan power yang dimiliki dalam menyelesaikan permasalahan didunia
internasional.
2.
Lingkungan Diplomatik
Bagian ini mencakup hubungan
diantara beberapa aktor yang terlibat dalam bagian permasalahan yang dihadapi.
Bagian ini dikategorikan dalam empat bagian, yaitu: Diplomasi perseteruan,
diplomasi Perlawanan, diplomasi Gabungan (koalisi), diplomasi Perantara.
3. Hubungan Domestik
Berdasarkan
teori diatas, pengambilan langkah diplomasi oleh Indonesia dalam menghadapi kebijakan Malaysia di wilayah
perbatasan untuk mencegah lepasnya kembali pulau-pulau terluar Indonesia dipengaruhi oleh faktor
lingkungan internasional dan lingkungan diplomatik. Lingkungan internasional
menuntut setiap negara untuk berusaha memperjuangkan kepentingannya secara
sendiri-sendiri, sehingga berdasarkan hal tersebut maka masuk akal jika Indonesia merubah
pola diplomasinya terhadap Malaysia guna mengamankan wilayah teritorialnya dari
ancaman negara lain.
Faktor lingkungan diplomatik juga sangat mempengaruhi
diplomasi Indonesia dan Malaysia dalam permasalahan perbatasan. Hal ini bisa dilihat
dengan adanya benturan kepentingan Indonesia dan Malaysia, sehingga memunculkan
diplomasi perlawanan diantara kedua negara. Keefektifan diplomasi suatu Negara bergantung pada sejauh
mana kekuatannya nasionalnya sendiri. Dalam menerapkan diplomasinya, suatu
Negara harus mempertimbangkan kekuatan dan sumber daya yang ada.
Kekuatan (power) dan sumber daya tetap merupakan sumber penting dalam
menentukan keberhasilan diplomasi, karena faktor ini terakumulasi dalam
kapabilitas suatu Negara terhadap Negara lain dalam diplomasi.[7] Sehingga suatu Negara
dikatakan berhasil melakukan proses diplomasi jika Negara tersebut mampu
menggunakan kekuatan powernya dengan
baik. Hans J Morgenthau mengatakan
bahwa power didefenisikan sebagai
hubungan antara dua aktor politik dimana aktor A memiliki kemampuan untuk
mengendalikan pikiran dan tindakan aktor B dan begitu juga sebaliknya.
Keterangan:
Sistem Internasional: Merupakan tempat bagi
Negara-negara bernegosiasi, pada sistem internasional yang anarkis hubungan
antara Negara-negara didasarkan pada kepentingan masing-masing Negara yang
mempunyai tujuan menguntungkan bagi Negara-negara tersebut. Para aktor-aktor
Negara melakukan hubungan dengan tujuan meningkatkan power. Kepentingan nasional dicapai melalui diplomasi dan power. Power dan diplomasi dilakukan secara bersamaan dalam
pelaksanaannya.
Diplomasi: Merupakan proses dan cara-cara yang dilakukan dalam peningkatan
kepentingan nasional dengan menggunakan power
yang dimiliki sebagai dasar untuk mempengaruhi Negara lain dalam pencapaian
kepentingan nasional. Pada studi kasus ini, Indonesia menggunakan menggunakan model soft diplomacy atau perundingan
terhadap kebijakan Malaysia.
Power: Hubungan Negara-negara dalam
sistem internasional adalah untuk menambah power.
Jadi, tujuan sebuah Negara mengadakan diplomasi adalah untuk meningkatkan power, sehingga mencapai kepentingan
nasionalnya. Power terbagi dua,
yaitu: Nasional power dan
Internasional power. Nasional power merupakan penunjang dari internasional
power, jika nasional power yang dimiliki suatu Negara kuat
maka internasional power akan lebih
maksimal terhadap Negara lain. Oleh karena itu Indonesia melakukan diplomasi karena adanya
pertimbangan power dan keinginan
untuk mendapatkan perhatian dan menjaga eksistensinya serta menjaga wilayah
teritorial
dari dunia internasional.
Hasil
dan Pembahasan
Indonesia dan Malaysia secara historis merupakan dua
negara yang memiliki hubungan erat secara historis. Sebagai
dua negara yang serumpun, identitas Malaysia yang
tidak bisa dipisahkan dengan Suku Melayu mempunyai sejarah yang panjang dengan suku Melayu yang berada di Indonesia.
Identitas Suku Melayu ini bahkan lebih mudah ditarik akar sejarah panjang
dengan Kedatangan orang Minang pertama di Negeri Sembilan sekitar tahun 1467 M.[8]
Orang Minang
pertama yang datang di Negeri Sembilan tiba di Rembau adalah Datuk Lelo Balang
bersama beberapa orang dari Batu Hampar, Mungkar, Simalanggang, Payakumbuh dan
beberapa nagari lain di daerah Luhak 50 Koto (sekarang Kabupaten 50 Kota dan
Kabupaten Kampar).[9] Hal ini semakin menjelaskan dekatnya hubungan historis
antara Indonesia dan Malaysia.
Suku
Minang sebagai pendatang pertama di Malaysia,
kemudian mendirikan Kerajaan Negeri Sembilan dan rajanya pun didatangkan dari
Kerajaan Pagaruyung yang berada di
Sumatera Barat, yang
dikenal dengan sebutan Raja Malewar
(1773-1795). Hubungan Melayu Malaysia-Indonesia dapat ditandai dengan
simbol-simbol Kerajaan Malaysia yang secara prinsip tidak berbeda dengan
simbol-simbol Kerajaan Melayu di Indonesia sebelum kemerdekaan.[10]
Bahkan simbol-simbol ini masih menjadi pengetahuan dan identitas yang paling
khas yang menjadi pegangan masyarakat Melayu di Indonesia.
Historis dan kultural bangsa
Malaysia juga banyak dipengaruhi oleh keberadaan bangsa Indonesia khususnya
bagian timur, seperti kepulauan Riau, Sulawesi Selatan juga Jawa. Di antara
bukti tentang hal tersebut adalah Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak bin
Haji Dato’ Hussein Al-Haj yang merupakan bangsawan keturunan Bugis Makassar.[11]
Namun bagi bangsa Indonesia keberadaan bangsa Malaysia sama sekali tidak
memiliki peranan penting terhadap history yang membentuk kultur bangsa
Indonesia dengan baragam suku dan kebudayaan.
Berbicara
mengenai hubungan antara Indonesia dan Malaysia, hubungan itu sudah lama
terjadi bahkan ketika Malaysia baru berdiri sebagai sebuah negara. Secara
historis kemerdekaan Malaysia adalah ‘pemberian’ Inggris sebagai penjajahnya.
Secara nama Malaysia yang berasal dari kata Malaya itu tentu saja berarti
sebuah negara wilayah jajahan Inggris yang berada di Semenanjung Malaya.
Hubungan
diplomatik Indonesia dan Malaysia
yang khas dan kental membuat analisis Indonesia dan Malaysia sebagai saudara
sudah tepat. Selain kultur, kekerabatan, simbol, agama, sejarah panjang
persaudaran Indonesia dan Malaysia
selain merupakan aktor utama berdirinya ASEAN juga mempengaruhi kawasan selat
Malaka sebagai daerah kawasan yang paling aman dari konflik dan pertarungan
pertentangan di negara ASEAN.
Hubungan
diplomatik Indonesia dan Malaysia
juga menjadi pelajaran berbagai model penyelesaian konflik di berbagai kawasan
dunia. Malaysia
dan Indonesia sebagai dua buah
negara serumpun memiliki hubungan sejarah yang cukup kuat.[12] Sejarah itu misalnya,
Indonesia adalah satu diantara negara pertama yang membuka hubungan diplomatik
dengan Malaysia sejak negara ini merdeka tahun 1957. Berdasarkan sejarah
awal hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia, maka hubungan
diplomatik Indonesia dan Malaysia
dapat dilihat dari beberapa perspektif,
yaitu perspektif ekonomi dan politik.
Salah satu persoalan yang
dapat memicu persengketaan antar negara adalah masalah perbatasan. Sampai saat
ini Malaysia dan Indonesia juga menghadapi masalah yang serupa, terutama
mengenai garis perbatasan di wilayah perairan laut dengan negara-negara
tetangga. Bila dicermati banyak negara-negara di Asia Pasific juga menghadapi
masalah yang sama.[13]
Anggapan bahwa situasi regional sekitar Indonesia dalam tiga dekade ke depan
tetap aman dan damai, mungkin ada benarnya, namun di balik itu sebenarnya
bertaburan benih konflik, yang dapat berkembang menjadi persengketaan terbuka.
Faktor-faktor yang dapat menyulut persengketaan antar negara dimaksud antara
lain:[14]
- Ketidaksepahaman mengenai garis perbatas-an antar negara yang banyak yang belum tersele-saikan melalui mekanisme perundingan (bilateral).
- Peningkatan persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara-negara yang ada di kawa-san ini, maupun dari luar kawasan.
Eskalasi aksi terorisme lintas
negara, dan gerakan separatis bersenjata yang dapat mengundang kesalahpahaman
antar negara bertetangga. Jika dikaji secara sistematis,
maka permasalahan perbatasan antara Malaysia dan Indonesia awalnya terjadi di
beberapa wilayah perbatasan. Berikut ini merupakan beberapa bentuk kebijakan
Malaysia di wilayah perbatasan Indonesia, yaitu sebagai berikut:
- Kebijakan Malaysia dalam pengklaiman wilayah perbatasan Indonesia.
- Kebijakan Malaysia berkaitan dengan kepemilikan dan pengelolaan Selat Malaka.
- Kebijakan Malaysia dalam kepemilikan terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan.
- kebijakan Malaysia dalam kepemilikan dan pengelolaan Blok Ambalat.
- Kebijakan Malaysia di perairan Kepri khususnya perairan Pulau Bintan, serta
- Kebijakan Malaysia dalam pengklaiman kebudayaan Indonesia.
Berdasarkan kebijakan Malaysia di wilayah perbatasan
Indonesia, maka strategi Indonesia menghadapi kebijakan Malaysia di wilayah
perbatasan terbagi atas dua indikator, yaitu sebagai berikut:
I. Strategi internal Indonesia menghadapi Malaysia, melalui beberapa
langkah strategi:
1.
Indonesia melakukan pemberdayaan terhadap pulau-pulau terluar
2.
Indonesia meningkatkan penjagaan pengamanan di wilayah perbatasan
3.
Indonesia mengembangkan pendidikan yang berbasis nasionalisme
4.
Indonesia melakukan pemetaan kembali terhadap wilayah perbatasan
5.
Indonesia melakukan pembangunan wilayah baru di dekat perbatasan
6.
Indonesia membentuk kelembagaan
khusus menangani masalah perbatasan
II. Strategi eksternal Indonesia menghadapi Malaysia, melalui beberapa
langkah strategi:
1.
Indonesia menyepakati diplomasi perundingan di Kinabalu tahun 2010 untuk
menyelesaikan konflik perbatasan dengan Malaysia
2.
Indonesia menyepakati kerjasama
keamanan bersama di wilayah perbatasan dengan Malaysia
3.
Indonesia menyepakati kerjasama pertahanan dan keamanan bersama dengan Cina
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan-penjelasan bab sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa penanganan wilayah perbatasan Indonesia selama ini sudah dilakukan dengan
baik, namun dalam implementasinya strategi Indonesia menghadapi Malaysia di
wilayah perbatasan belum dapat berjalan secara optimal dan kurang terpadu,
serta timbulnya konflik antar berbagai pihak (baik secara horisontal, sektoral,
maupun vertikal) tidak dapat dihindari.
Persepsi bahwa penanganan kawasan perbatasan ini hanya
menjadi domain pemerintah (pusat) saja sudah waktunya diperbaiki dalam era
otonomi daerah, meskipun kawasan perbatasan ini merupakan kawasan strategis
nasional. Karena pengamanan dan penjagaan wilayah perbatasan tidak hanya
merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Penjagaan wilayah
perbatasan dari negara-negara lain adalah tanggung jawab seluruh elemen
masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat yang berada di wilayah perbatasan.
Nilai strategis kawasan perbatasan ditentukan antara lain
oleh kegiatan yang berlangsung di dalam kawasan, yaitu sebagai berikut:
- Wilayah perbatasan mempunyai potensi sumberdaya yang berdampak ekonomi dan pemanfaatan ruang wilayah secara siginifikan
- Wilayah perbatasan merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di dalam ataupun di luar wilayah
- Wilayah perbatasan mempunyai keterkaitan yang kuat dengan kegiatan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun regional (antar negara)
- Wilayah perbatasan Mempunyai dampak politis dan fungsi pertahanan keamanan nasional
Rencana tata ruang yang lebih mendetail di wilayah
perbatasan sangat dibutuhkan agar pengelolaan perbatasan dapat dilaksanakan
secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan pertahanan keamanan.
Konflik perbatasan yang dihadapi oleh Indonesia selama
ini secara rutin berhadapan dengan perebutan wilayah perbatasan dengan
Malaysia. Seperti kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, Blok Ambalat, wilayah Tanjung
Datuk, Camar bulan dan perbatasan wilayah perairan di Provinsi Kepulauan Riau.
Selain itu konsep wilayah perbatasan harus diganti dari wilayah atau pulau
terluar menjadi pulau terdepadan. Sehingga hal ini menguatkan bagi seluruh
elemen bangsa untuk menjaga wilayah terdepan di perbatasan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Albright, David
and O’Neill, Kevin. 2000. Solving the North Korean Nuclear Puzzle.
Institute for Science and International Security Press. Washington D.C.
Fukuyama Francis
Yoshiro. 1982. The End of History and The
Last Man. Free Press. New York.
Hadi Andri.
2009. Bahan seminar “ Politik Luar Negeri
Indonesia: Prospek dan tantangan dalam Era Globalisasi.“ Dirjen IDP
Departemen Luar Negeri RI.
Kegley Charles W
dan Witkopf Eugene, R. 2003. World
Politics: Trend and Transformation. Belmond Wadsworth.
Nucterlain
Donald E. 1979. National Interest A New
Approach. Vol 23. No.1 Spring. Vorbis.
Panikkar KM. The Principle and Practice of Diplomacy.
Rourke John. T.
2002. International Politics and World
Stage. United Nations. New York.
S.L Roy. 1995. Diplomasi. Edisi Kedua. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Saeri M. 2003. Diplomasi dalam Perspektif Politik. Jurnal antar bangsa, Vol 1 No 2.
Universitas Riau. Pekanbaru
Website
Daftar Negara Axis of Evil. Diakses
dari.http//www.kompas.com//. Pada
tanggal 10 Januari 2009, pukul 14.25 WIB
Duta Besar RI untuk Seoul. Perdamaian di Semenanjung Korea.Diakses
dari.http://www.koranindonesia.com/2007/12/20/pemilihan-presiden-dan
perdamaian-di-semenanjung-korea/.html. Pada tanggal 25 februari 2009
pukul 19.50 WIB
Faustinus Andrea. Krisis
Nuklir Korut Pasca-Dialog Beijing. Diakses dari.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0403/06/opini/887952.htm. CSIS.Jakarta.
U.S. Department
of the Treasury. Treasury Designates
Banco Delta Asia as Primary Money Laundering Concern under USA PATRIOT Act. Diakses
dari. http://www.ustreas.gov/press/releases/js2720.htm. Press Release
JS-2720, September 15, 2005,
[1] Donald E. Nucterlain. National
Interest A new Approach, Orbis. Vol 23. No.1 (Spring). 1979, hlm 57
[2] Ibid. Donald E.
Nuchterlain, hlm 57-75
[3] Panikkar KM. The Principle
and Practice of Diplomacy. Ibid.
S. L. Roy Hlm 3
[4] S.L Roy. Diplomasi. Edisi Kedua. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 1995.
Hlm 6
[5] Bahan seminar “ Politik Luar
Negeri Indonesia: Prospek dan tantangan dalam Era Globalisasi” oleh Dirjen
IDP Departemen Luar Negeri RI: Andri Hadi SH.LLM, tahun 2009
[6] John T, Rourke. International
Politics and World Stage, United Nations, New York, 2002, hlm 26
[7] Drs. M, Saeri M.Hum, Diplomasi
dalam Perspektif Politik,hlm
137-138. Dalam jurnal antar bangsa, Vol 1 No 2, Juli 2003. Universitas Riau.
Pekanbaru
[8]
Diakses dari.http//www. (waspada.co.id, 29 Agustus 2007).
[9] Ibid. Hlm 2
[10]
Witton, Patrick (2003). "INTRODUCTION". Hisroty of
ndonesia-Malaysia. Lonely Planet. hlm. 944.
[12]
Diakses dari. http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/internasional/6777-isu-perbatasan-dan-keamanan-nasional.pdf.
Pada tanggal 20 januari 2010
[13]
Diakses dari.http//www.artikel/cakrawalaTNI.com Sengketa Perbatasan Antar
Negara Di Kawasan Asia Pasific. Oleh Paulus Londo (Pengamat Sosial Politik). Pada
tanggal 23 May 2007
[14]
Diakses dari.http// www.tempointerktif.com.
“Indonesia-Malaysia amankan perbatasan”. Pada bulan Juli 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar