Sabtu, 21 Januari 2017

STRATEGI KOREA UTARA MENGHADAPI TEKANAN AMERIKA SERIKAT DALAM PERUNDINGAN ENAM JALUR TAHUN 2005-2008


                                                                              Abstract
 
This research describes the conflict between North Korea and the United States. This conflict start began in 1993 when North Korea commenced it’s nuclear weapons program. United States claimed nuclear weapons North Korea will broke the international peace. To solve this conflict, United States take the policy to stop the spread of North Korea’s nuclear weapon. Conflict between United States and North Korea about nuclear weapons worried will be a nuclear war and to preven the war United States make a deal with North Korea to finished the conflict with negotiations.
The writer collects data from books, encyclopedia, journal, mass media and websites to analyze the conflict between North Korea-United States. The theories applied in this research are diplomacy theory from S.L Roy and KM. Panikkar, diplomacy setting theory from John T. Rourke and national interest concept from Donald. E. Nuchterlain. The research shows that United States was trying to stoped the North Korea’s nuclear. United States used the doktrin pre emption, freeze the money of North Korea and invite United Nations to take the resolution. The policies that have done by United states are purpose to stoped the spread of North Korea’s nuclear weapons. United States use the diplomacy to finished this conflict because if United States still used the military invation it will be a nuclear war and it can be disturb the international peace.

Pendahuluan
Penelitian ini merupakan sebuah kajian diplomasi dan keamanan yang menganalisis strategi Korea Utara menghadapi tekanan diplomatik Amerika Serikat dalam perundingan enam jalur tahun 2005-2008. Secara khusus penelitian ini difokuskan pada strategi yang akan diterapkan oleh Korea Utara menghadapi tekanan-tekanan diplomatik yang diterapkan oleh Amerika Serikat terkait dengan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang diawali dengan menggambarkan fenomena-fenomena yang terjadi berkaitan dengan hubungan diplomatik antara Korea Utara dan Amerika Serikat terkait isu kepemilikan senjatanuklir Korea Utara. Setelah itu akan dilanjutkan dengan menganalisa mengenai tekanan-tekanan diplomatik Amerika Serikat yang khawatir akan perkembangan senjata nuklir Korea Utara. Amerika Serikat memandang senjata nuklir Korea Utara sebagai ancaman utama dalam perdamaian internasional.
Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Pada metode ini, data- data yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas merupakan data-data sekunder yang didapatkan dari buku-buku., majalah-majalah, jurnl, suratkabar, bulletin, laporan tahunan dan sumber-sumber lainnya.Peneliti juga menggunakan sarana internet dalam proses pengumpulan data yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas.
Dalam rangka memberikan fokus yang lebih tajam terhadap permasalahan yang dibahas, maka peneliti merasa perlu untuk memberikan batasan waktu dalam penelitian ini. Adapun rentang waktu yang akan peneliti maksud adalah antara tahun 2005-2008 pada masa perundingan enam jalur. Tahun 2005 dipilih karena pada saat itu perundingan enam jalur yang telah disepakati pada tahun 2003 mengalami kemacetan dalam proses perundingan. Selain itu pada tahun 2005, Amerika Serikat melakukan pembekuan dana bantuan kepada Korea Utara dan tahun 2006 Korea Utara melakukan uji coba senjata missil dan nuklir sehingga setelah aksi uji coba senjata missil tersebut, menyebabkan perundingan enam jalur tetap fokus untuk menghentikan konflik yang terjadi. Namun begitu batasa tahun pada penelitian ini bukan merupakan suatu hal yang mutlak, tahun-tahun sebelum dan sesudahnya juga akan menjadi bagian dari kajian penelitian ini.
Sebagai kerangkan acuan untuk menjawab permasalahan penelitian, maka peneliti akan menggunakan perspektif realis yang mempunyai tema Struggle for power and security. Hubungan internasional ditandai dengan anarki, segala cara dilakukan untuk mencapai kepentingan nasional. Morgenthau menyatakan bahwa super power adalah fokus utama hubungan internasional, power adalah alat untuk mencapai kepentingan nasional (national interest). Tingkat analisa yang digunakan adalah Negara bangsa (nation state) dengan alasan bahwa objek utama dalam hubungan internasional adalah perilaku Negara bangsa, dengan asumsi bahwa semua pembuat keputusan, dimanapun berada, pada dasarnya berperilaku sama apabila menghadapi situasi yang sama.
Donald E. Nuchterlain mengemukakan kepentingan sebagai kebutuhan yang dirasakan oleh suatu Negara dalam hubungannya dengan Negara lain yang merupakan lingkungan eksternalnya.[1] Kepentingan nasional inilah yang memberikan kontribusi yang besar bagi pembentukan pandangan-pandangan keluar bagi suatu bangsa. Kepentingan nasional menurut Donald E. Nuchterlain terbagi atas empat poin, yaitu: [2]
1. Defense Interest
2. Economic Interest
3. World Order Interest
4. Ideological Interest
Berdasarkan pendapat Donald E. Nuchterlain, maka dalam diplomasi Korea Utara terhadap Amerika Serikat dalam perundingan enam jalur tahun 2005-2008, Korea Utara berusaha untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya, terutama dalam bentuk Defense interest dan Economic Interest. Berdasarkan kepentingan pertahanan maka Korea Utara mengaktifkan kembali nuklirnya dalam perundingan enam jalur disebabkan karena adanya tuduhan-tuduhan dan tekanan-tekanan dari Amerika Serikat sendiri. Sehingga Korea Utara menggunakan nuklir untuk kepentingan pertahanannya. Dan berdasarkan economic Interest, dengan adanya pengembangan senjata nuklir Korea Utara dan adanya perundingan-perundingan yang dilakukan maka hasilnya Korea Utara akan mendapatkan imbalan berupa bantuan-bantuan ekonomi yang bervariasi sebagai imbalan jika Korea Utara mau menghentikan reaktor nuklirnya.
            Menurut KM Panikkar dalam bukunya yang berjudul The Principle of Diplomacy, maka diplomasi dalam hubungannya dengan politik internasional merupakan seni dalam mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain,[3] yang dalam hal ini merupakan kepentingan nasional suatu negara dalam dunia internasional, namun oleh sebagian pandangan diplomasi lebih menekankan terhadap negosiasi–negosiasi perjanjian atau sebagai posisi tawar-menawar dengan negara lain.
Diplomasi sangat erat dengan penyelesaian permasalahan–permasalahan yang dilakukan dengan cara–cara damai, tetapi apabila cara–cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan–tujuannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa perang juga merupakan salah satu sarana dalam diplomasi di dunia internasional. Tujuan diplomasi bagi setiap negara adalah pengamanan kepentingan nasional, kebebasan politik dan integritas teritorial dan fungsi utama dari pelaksanaan diplomasi adalah negosiasi.[4] Ruang lingkup diplomasi adalah meyelesaikan perbedaan-perbedaan dan menjamin kepentingan-kepentingan negara melalui negosiasi yang sukses.
Diplomasi terbagi dua, yaitu:[5]
1. Soft Diplomacy: diplomasi dalam bentuk penyelesaian secara damai dalam bidang kebudayaan, bahasa, persahabatan dan ekonomi.
2. Hard Diplomacy: diplomasi dalam bentuk perang, yaitu agresi militer dan politik.
Diplomasi yang dilakukan oleh Korea Utara terhadap Amerika Serikat adalah dengan menggunakan soft diplomacy dan hard diplomacy. Korea Utara menggunakan soft diplomacy dengan mengikuti perjanjian NPT dan juga ikut menyepakati perundingan Jenewa tahun 1994 serta perundingan enam jalur yang di mulai tahun 2003. Kepentingan Korea Utara dengan mengaktifkan nuklirnya adalah untuk mendapatkan posisi unggul dalam negosiasi dan mendapatkan bantuan ekonomi yang bervariasi. Korea Utara juga mengambil kebijakan menggunakan hard diplomacy dengan cara penggunaan kekuatan militer dan kembali mengaktifkan reaktor nuklirnya untuk menghadapi serangan first strike dari Amerika Serikat.
Menurut John T. Rourke, hakikat dan peranan diplomasi dipengaruhi oleh setting (lingkungan) yang disebut dengan diplomacy setting.[6] Setting disini dimaksudkan sebagai kondisi yang memiliki peranan penting dalam menciptakan output diplomacy. Lingkungan diplomasi terbagi dalam tiga bagian yaitu:
1. Sistem Internasional
            Menurut kaum realis hakekat dari sistem internasional yang anarki telah menciptakan sebuah setting dimana para aktor yang memiliki kepentingan sendiri dalam tujuan diplomatik menggunakan power yang dimilikinya untuk mencapai kepentingan mereka diatas kepentingan pihak lain. Hal yang perlu ditekankan kembali bahwa sistem internasional tidak mempunyai badan otoritatif dalam menyelesaikan permasalahan yang ada sehingga setiap Negara harus berjuang sendiri dengan menggunakan power yang dimiliki dalam menyelesaikan permasalahan didunia internasional.
2. Lingkungan Diplomatik
            Bagian ini mencakup hubungan diantara beberapa aktor yang terlibat dalam bagian permasalahan yang dihadapi. Bagian ini dikategorikan dalam empat bagian, yaitu: Diplomasi perseteruan, diplomasi Perlawanan, diplomasi Gabungan (koalisi), diplomasi Perantara
            3.  Hubungan Domestik         
              Dari pemaparan lingkungan diplomatik diatas, permasalahan nuklir Korea Utara termasuk dalam pelaksanaan diplomasi perseteruan dan diplomasi perlawanan. Dalam diplomasi perseteruan dan perlawanan telah terjadi permusuhan antara Korea Utara dan Amerika Serikat yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan sehingga kedua belah pihak saling meningkatkan powernya.     
              Keefektifan diplomasi suatu Negara bergantung pada sejauh mana kekuatannya nasionalnya sendiri. Dalam menerapkan diplomasinya, suatu Negara harus mempertimbangkan kekuatan dan sumber daya yang ada. Kekuatan (power) dan sumber daya tetap merupakan sumber penting dalam menentukan keberhasilan diplomasi, karena faktor ini terakumulasi dalam kapabilitas suatu Negara terhadap Negara lain dalam diplomasi.[7] Sehingga suatu Negara dikatakan berhasil melakukan proses diplomasi jika Negara tersebut mampu menggunakan kekuatan powernya dengan baik.
              Hans J Morgenthau mengatakan bahwa power didefenisikan sebagai hubungan antara dua aktor politik dimana aktor A memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan tindakan aktor B dan begitu juga sebaliknya. Secara umum power memiliki 3 unsur utama, yaitu: force, influence dan authority. Dari pemaparan teori diplomasi dan power diatas, maka dapat digambarkan hubungan keduanya sebagai berikut:
Gambar Model Pengambilan Langkah Diplomasi
                                                                                                    Soft Diplomacy               Negosiasi              
                                                                Diplomasi                                                                                                                                                                                                  Hard Diplomacy             Diplomasi senjata
Sistem internasional                                                                                                                                                                                                               Power   
                                National power                      International Power                        Kapabilitas
                                            SDA, militer,dll                                                                         Kebutuhan
                                                                                                                                                Kredibilitas


Keterangan:
Sistem Internasional: Merupakan tempat bagi Negara-negara bernegosiasi, pada sistem internasional yang anarkis hubungan antara Negara-negara didasarkan pada kepentingan masing-masing Negara yang mempunyai tujuan menguntungkan bagi Negara-negara tersebut. Para aktor-aktor Negara melakukan hubungan dengan tujuan meningkatkan power. Kepentingan nasional dicapai melalui diplomasi dan power. Power dan diplomasi dilakukan secara bersamaan dalam pelaksanaannya.
Diplomasi: Merupakan proses dan cara-cara yang dilakukan dalam peningkatan kepentingan nasional dengan menggunakan power yang dimiliki sebagai dasar untuk mempengaruhi Negara lain dalam pencapaian kepentingan nasional. Pada studi kasus ini, Korea Utara menggunakan model soft diplomacy dan hard diplomacy.
Power:  Hubungan Negara-negara dalam sistem internasional adalah untuk menambah power. Jadi, tujuan sebuah Negara mengadakan diplomasi adalah untuk meningkatkan power, sehingga mencapai kepentingan nasionalnya. Power terbagi dua, yaitu: Nasional power dan Internasional power. Nasional power merupakan penunjang dari internasional power, jika nasional power yang dimiliki suatu Negara kuat maka internasional power akan lebih maksimal terhadap Negara lain. Oleh karena itu Korea Utara melakukan diplomasi karena adanya pertimbangan power dan keinginan untuk mendapatkan perhatian dan menjaga eksistensinya serta memperoleh bantuan ekonomi dari dunia internasional.

Hasil dan Pembahasan
Korea pada awalnya dideklarasikan dengan sebutan Republik Demokrasi Rakyat Korea yang terdiri atas satu pemerintahan yang berkedaulatan. Namun dengan pecahnya perang saudara tahun (1950 – 1953) yang berakhir dengan gencatan tanpa adanya perjanjian perdamaian maka hal ini menyebabkan pecahnya Republik Demokrasi Rakyat Korea menjadi dua negara, yaitu Korea Utara dan Korea Selatan. Sistem politik di Korea Utara bersifat sentralistik dengan pemimpin Negara ini yaitu Kim Jong il.
Sejak tahun 1950 Korea Utara telah mulai mengembangkan ilmu dan teknologi nuklirnya. Korea Utara menerima bantuan-bantuan teknik dari Uni Soviet untuk membangun fasilitas nuklir skala besar di Yongbyon. Pakar-pakar teknologi nuklir yang berasal dari Korea Utara dibina dan diajarkan mengenai proses pengembangan nuklir oleh Uni Soviet, sehingga Korea Utara memiliki posisi unggul untuk mengembangkan teknologi nuklir. Beberapa faktor terpenting yang membuat Korea Utara tertarik untuk mengembangkan nuklir awalnya adalah sistem kekuasaan internasional yang bersifat bipolar antara kekuatan Uni Soviet dan Amerika Serikat, sehingga Korea Utara lebih memilih untuk menjadi sekutu Uni Soviet, krisis senjata missil di Kuba pada tahun 1962, serta prospek hubungan diplomatik antara Jepang dan Amerika Serikat. Dengan eratnya hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan Jepang tahun 1965 membuat Korea Utara mengembangkan senjata nuklir sebagai strategi deterens.
Sejak tahun 1986, Korea Utara telah membangun pusat lembaga tenaga nuklir dan pembangkit listrik tenaga nuklir yang terletak di Yongbyon. Proses pengayaan uranium dilakukan dengan adanya reaktor atom dengan kapasitas 5 MW dan reaktor atom nuklir ini mempunyai kemampuan untuk memproduksi sekitar 6 kg plutonium dan cukup untuk memproduksi sebuah bom atom.[8]  Selain itu menurut laporan Duta Besar Amerika Serikat jika berhasil nanti, maka pusat reaktor nuklir Yongbyon akan mampu menghasilkan 200 kg plutonium atau sekitar 30 bom atom setiap tahunnya. Dengan bom yang dihasilkan oleh reaktor nuklir Korea Utara ini maka tidak mengherankan jika Negara-negara dunia internasional khususnya Amerika Serikat khawatir akan perkembangan nuklir Korea Utara.
Korea Utara menandatangani perjanjian dengan IAEA (International Atomic Energy Agency) padfa bulan Januari 1992 untuk melaporkan mengenai keadaan program nuklirnya secara wajib. Sesuai dengan perjanjian itu, maka IAEA melakukan inspeksi di Korea Utara dan menemukan bukti bahwa terdapat beberapa kilogram plutonium yang bisa menjadi bahan baku senjata nuklir. Hal ini berbeda dengan laporan Korea Utara, sehingga IAEA meminta kejelasan dalam kasus ini dan Korea Utara menolak untuk memberi penjelasan sehingga Korea Utara melakukan aksi protes dengan menarik diri dari NPT.
Penarikan diri Korea Utara dari NPT dan pengusiran terhadap Badan Pengawas PBB, IAEA dilakukan oleh Korea Utara karena adanya tuduhan Amerika Serikat mengenai proliferasi senjata nuklir Korea Utara secara diam-diam. Dengan adanya tekanan-tekanan dari dunia internasional maka tahun 1993 Korea Utara mengaktifkan senjata nuklirnya dan konflik ini hampir saja menjadi konfrontasi nuklir jika tidak diselesaikan dengan cara perundingan diplomatik.
Ketegangan tersebut akhirnya  dapat direda dengan adanya kesepakatan Jenewa pada bulan oktober 1994. Kesepakatan Jenewa adalah perjanjian bilateral antara Amerika Serikat dan Korea Utara yang membicarakan mengenai  resolusi krisis nuklir Korea Utara putaran pertama. Inti dari kesepakatan ini adalah Korea Utara bersedia menhentikan pengembangan senjata nuklirnya dengan adanya imbalan bantuan-bantuan yang diberikan oleh Amerika Serikat.
Kesepakatan Jenewa ini berlangsung selama tahun 1994-2002, namun menjelang pergantian tahun 2002 kawasan di Semenanjung Korea kembali memanas, tentu saja hal ini diakibatkan oleh krisis nuklir Korea Utara. Krisis ini semakin rumit ketika Amerika Serikat dan Korea Utara mulai menunjukkan arogansinya dan menciptakan perang pernyataan di forum internasional.
Tanggal 29 Januari 2002, Presiden Amerika Serikat George W. Bush membuat pernyataan yang bersifat provokatif terhadap Korea Utara, dengan tuduhan kepada Korea Utara sebagai negara “Axis of Evil” yaitu sama seperti negara–negara yang terlibat dalam konflik di Timur Tengah yaitu Irak dan Iran, yang merupakan negara yang berpotensial untuk berkembangnya suatu kegiatan terorisme.[9] Sehingga Amerika Serikat memandang Korea Utara sebagai negara yang bisa mengganggu keamanan dunia internasional dan dengan adanya pengembangan senjata nuklir Korea Utara ini dikhawatirkan dapat menimbulkan ancaman bagi negara-negara di Kawasan Asia Timur khususnya.
Pasca tahun 2002 dengan maraknya kegiatan–kegiatan terorisme internasional yang terjadi seperti pengeboman gedung WTC pada tahun 2001, maka membuat kebijakan-kebijakan luar negeri pemerintahan presiden Bush menjadi lebih ofensif. Dalam pidatonya Bush mengatakan akan menerapkan doktrin pre emption sebagai salah satu pilihan.[10] Karena dengan adanya doktrin pre emption ini diharapkan mampu membuat negara-negara yang dikategorikan sebagai negara kriminal di dunia internasional untuk berfikir lebih sebelum melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan Amerika Serikat. Doktrin pre emption adalah doktrin menyerang sebagai alasan pertahanan agar negara yang dianggap mengancam dapat diserang terlebih dahulu, dimana doktrin ini digunakan untuk negara kriminal seperti negara Irak dan diperluas pada negara–negara lain yang mengancam hendak mengembangkan senjata pemusnah massal.[11] Jadi doktrin pre emption  ini merupakan kebijakan suatu negara yang bersifat menyerang terhadap negara lain dengan alasan serangan yang dilakukan oleh negara tersebut didasarkan pada alasan untuk bertahan dari ancaman negara lain.
Ketegangan yang terjadi seiring pernyataan presiden Bush tersebut membuat meningkatnya situasi konflik di Korea Utara, dimana Korea Utara kembali memutuskan untuk mengaktifkan kembali pusat nuklir Yongbyon dan mundur dari kesepakatan Nuclear Non-Proliferation (NPT), serta mengusir inspektur nuklir PBB dan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Pasca aksi dari Amerika Serikat pada tahun 2002 yang mengatakan bahwa Korea Utara adalah negara terorisme dan reaksi dari Korea Utara yang kembali mengaktifkan reaktor nuklirnya maka hal ini dapat menjadikan ketegangan antara Amerika Serikat dan Korea Utara akan semakin memuncak dan titik klimaksnya adalah kekhawatiran akan terjadinya konfrontasi nuklir bila masing-masing pihak tidak saling meningkatkan pengertian mengenai persepsi dan maksud mereka masing-masing.
Alternatif untuk memecahkan permasalahan ini harus diciptakan pembatasan dan pengurangan nuklir khususnya menyangkut persenjataan nuklir. Tidak kurang pentingnya adalah serangkaian perundingan dan persetujuan yang dicapai akan berarti apabila antara Amerika Serikat dan Korea Utara yang didukung oleh  "dialog atau perundingan enam jalur" (six talks party) tetap berbicara satu sama lain yang mengandung arti pencegahan terjadinya peperangan di masa mendatang.[12] Dengan demikian diharapkan nantinya perundingan enam jalur yang dihadiri oleh Korea Utara, Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, Rusia dan Cina ini mampu mengurangi eskalasi konflik nuklir dikawasan Asia Timur khususnya dan dunia internasional pada umumnya.
Amerika Serikat, Cina dan Korea Utara sebelumnya telah melakukan perundingan yang dikenal dengan perundingan tiga jalur atau perundingan trilateral yang merupakan embrio dari pertemuan enam jalur pada bulan maret 2003 di Beijing. Perundingan enam jalur merupakan sebuah pertemuan atau dialog multilateral yang dilakukan oleh Korea Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, Cina, Jepang dan Rusia pada bulan agustus 2003 yang membahas kesepakatan–kesepakatan untuk menghentikan program pengembangan senjata nuklir Korea Utara.[13] Dan nantinya diharapkan perundingan enam jalur ini mampu memberikan solusi yang terbaik dan bersifat win-win solution diantara semua negara yang turut berpartisipasi dalam perundingan enam jalur.
 Perundingan enam jalur ini telah dilakukan sampai tujuh kali putaran hingga tahun 2008. Pada putaran kedua yang diadakan pada tanggal 13–19 September 2005, inilah pertama kalinya dihasilkan beberapa persetujuan yaitu: Korea Utara menyetujui untuk menghentikan program pengembangan senjata nuklir dan kembali kepada perjanjian (non proliferation treaty) NPT, penggunaan energi nuklir hanya digunakan untuk perdamaian, Amerika Serikat dan Korea Selatan secara formal mendeklarasikan bahwa mereka tidak mempunyai senjata nuklir di Korea Peninsula, Amerika Serikat tidak akan menyerang Korea Utara dan akan memberikan jaminan keamanan terhadap negara tersebut, Jepang dan Korea Utara  kembali menormalisasikan hubungan diplomatiknya, lima anggota perundingan enam jalur kembali mengadakan kerja sama ekonomi dan penanaman investasi dengan negara Korea Utara.
Setelah diadakan kesepakatan dalam perundingan enam jalur tersebut, maka pada November 2005 konflik kembali muncul hal ini dipicu oleh adanya tekanan-tekanan Amerika Serikat terhadap Korea Utara. Departemen Pertahanan Amerika Serikat menuduh Korea Utara melakukan tindakan kriminalisasi internasional, yaitu kegiatan pencucian uang dana bantuan dan juga kekerasan terhadap hak asasi manusia,  maka dengan tuduhan tersebut Amerika Serikat membekukan dana bantuan sebanyak U$ 25 juta dollar kepada Korea Utara melalui Bank Macau dari Banco Delta Asia.[14] Amerika Serikat selalu menaruh curiga akan kegiatan pengembangan senjata nuklir Korea Utara yang dilakukan secara diam-diam.
            Tekanan-tekanan yang dilakukan oleh Amerika Serikat sejak tahun 1993 sampai tahun 2009 semakin memojokkan posisi Korea Utara dalam dunia internasional. Amerika Serikat melakukan beberapa tekanan-tekanan yang pada akhirnya mengakibatkan Korea Utara mengaktifkan dan melakukan uji coba senjata missil dan nuklir. Adapun tekanan-tekanan yang dilakukan oleh Amerika Serikat adalah sebagai berikut:
  1. Tindakan Provokatif Amerika Serikat pada tahun 2002, yaitu dengan mengatakan bahwa Korea Utara merupakan Negara poros setan atau Axis of evil serta Negara-negara pendukung kegiatan terorisme internasional sehingga menyebabkan Negara Korea Utara dikucilkan dalam pergaulan internasional.
  2. Penerapan strategi first strike dan doktrin pre emption oleh Amerika Serikat pada tahun 2001 terhadap Korea Utara berkaitan dengan pengaktifan reaktor nuklir Korea Utara.
  3. Propaganda Amerika Serikat terhadap Korea Utara, seperti propaganda dengan cara names calling yaitu penyebutan Korea Utara sebagai Negara Kriminal dan juga dengan pembuatan film oleh Amerika Serikat mengenai bahaya nuklir Korea Utara yang berjudul Behind Enemy Line: Axis of Evil.
  4. Pembekuan dana bantuan Amerika Serikat kepada Korea Utara melalui Bank Macau pada bulan November 2005 dan memprovokasi Negara-negara anggota perundingan enam jalur untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Korea Utara sehubungan dengan pengaktifan reaktor nuklir Korea Utara.
  5. Amerika Serikat mendesak dan mendukung PBB untuk menjatuhkan dan memperpanjang masa sanksi dan embargo ekonomi serta militer tehadap Korea Utara.
  6. Amerika Serikat mengajak Cina dan Rusia sebagai Negara anggota Dewan Keamanan PBB untuk sepakat menekan Korea Utara dengan mengeluarkan Resolusi No 1718 mengenai penerapan sanksi ekonomi dan militer terhadap Korea Utara.
  7. Amerika Serikat bersama Jepang dan Korea Selatan sepakat untuk meningkatkan kerja sama pertahanan dan nuklir untuk mengimbangi kekuatan militer nuklir Korea Utara.
Tekanan-tekanan diplomatik yang dilakukan oleh Amerika Serikat tentu saja memanaskan kembali konflik senjata nuklir Korea Utara yang sejak tahun 1994 telah dihentikan dengan adanya kesepakatan Jenewa. Awal tahun 2003 Korea Utara menerapkan diplomasi keras terhadap Amerika Serikat dengan kembali mengaktifkan senjata nuklirnya. Strategi Korea Utara yang mengaktifkan kembali reaktor nuklirnya adalah ditujukan sebagai alat bargaining power dalam perundingan enam jalur tahun 2005-2008. Strategi-strategi yang diterapkan oleh Korea Utara adalah sebagai berikut: 
  1. Secara resmi mengusir paksa inspektur nuklir PBB dan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) tahun 2003 yang selama ini bertugas memeriksa proses pengembangan reaktor nuklir dari wilayah teritorial Korea Utara.
  2. Pengaktifan kembali pusat senjata nuklir Korea Utara dan keluarnya Korea Utara dari kesepakatan Nuclear Non-Proliferation (NPT) serta perjanjian Jenewa dalam krisis nuklir I  Korea Utara tahun 1994.
  3. Korea Utara melakukan uji coba senjata missil pada bulan Juli 2006 dan melakukan uji coba senjata nuklir pada bulan Oktober 2006.
  4. Seiring dengan pengaktifan reaktor nuklir tersebut, maka membuat Korea Utara mempunyai posisi unggul dalam melakukan negosiasi dengan negara-negara anggota perundingan enam jalur.

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa Korea Utara mengaktifkan kembali reaktor nuklirnya dalam perundingan enam jalur adalah untuk menghadapi tekanan-tekanan diplomatik Amerika Serikat dalam perundingan enam jalur tahun 2005-2008.
Menghadapi tekanan-tekanan Amerika Serikat tersebut, maka Korea Utara kembali mengaktifkan reaktor nuklirnya yang dijadikan sebagai alat pertahanan untuk menghadapi serangan dan ancaman provokasi militer dari Amerika Serikat. Selain itu, dengan pengaktifan reaktor nuklir tersebut menjadikan Korea Utara mempunyai bargaining power dan posisi unggul ketika berdiplomasi dengan Negara lain. Dengan adanya bargaining power dalam melakukan perundingan maka membantu Korea Utara untuk mendapatkan bantuan ekonomi yang bervariasi dari dunia internasional.
Hubungan Amerika Serikat dan Korea Utara selalu mengalami pasang surut. Amerika Serikat selalu mencurigai semua tindakan-tindakan dan kebijakan yang dilakukan oleh Korea Utara. Sehingga hal tersebut terkadang menimbulkan konflik bilateral diantara kedua negara. Sejak tahun 1994, Amerika Serikat selalu menekan Korea Utara untuk menghentikan program pengaktifan senjata nuklirnya. Dan mulai tahun 2002, dengan pemerintahan presiden George W Bush kebijakan Amerika Serikat semakin menekan rezim Korea Utara.







Daftar Pustaka

Buku
Albright, David and O’Neill, Kevin. 2000. Solving the North Korean Nuclear Puzzle. Institute for Science and International Security Press. Washington D.C.
Fukuyama Francis Yoshiro. 1982. The End of History and The Last Man. Free Press. New York.
Hadi Andri. 2009. Bahan seminar “ Politik Luar Negeri Indonesia: Prospek dan tantangan dalam Era Globalisasi.“ Dirjen IDP Departemen Luar Negeri RI.
Kegley Charles W dan Witkopf Eugene, R. 2003. World Politics: Trend and Transformation. Belmond Wadsworth.
Nucterlain Donald E. 1979. National Interest A New Approach. Vol 23. No.1 Spring. Vorbis.
Panikkar KM. The Principle and Practice of Diplomacy.
Rourke John. T. 2002. International Politics and World Stage. United Nations. New York.
S.L Roy. 1995. Diplomasi. Edisi Kedua. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Saeri M. 2003. Diplomasi dalam Perspektif  Politik. Jurnal antar bangsa, Vol 1 No 2. Universitas Riau. Pekanbaru


Website
Daftar Negara Axis of Evil. Diakses dari.http//www.kompas.com//.  Pada tanggal 10 Januari 2009, pukul 14.25 WIB
Duta Besar RI untuk Seoul. Perdamaian di Semenanjung Korea.Diakses dari.http://www.koranindonesia.com/2007/12/20/pemilihan-presiden-dan perdamaian-di-semenanjung-korea/.html. Pada tanggal 25 februari 2009 pukul 19.50 WIB
Faustinus Andrea. Krisis Nuklir Korut Pasca-Dialog Beijing. Diakses dari. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0403/06/opini/887952.htm. CSIS.Jakarta.   
U.S. Department of the Treasury. Treasury Designates Banco Delta Asia as Primary Money Laundering Concern under USA PATRIOT Act. Diakses dari. http://www.ustreas.gov/press/releases/js2720.htm. Press Release JS-2720, September 15, 2005,




[1] Donald E. Nucterlain. National Interest A new Approach, Orbis. Vol 23. No.1 (Spring). 1979, hlm 57
[2] Ibid. Donald E. Nuchterlain, hlm 57-75
[3] Panikkar KM. The Principle and Practice of Diplomacy. Ibid. S. L. Roy Hlm 3
[4] S.L Roy. Diplomasi. Edisi Kedua. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 1995. Hlm  6
[5] Bahan seminar “ Politik Luar Negeri Indonesia: Prospek dan tantangan dalam Era Globalisasi” oleh Dirjen IDP Departemen Luar Negeri RI: Andri Hadi SH.LLM, tahun 2009
[6] John T, Rourke. International Politics and World Stage, United Nations, New York, 2002, hlm 26
[7] Drs. M, Saeri M.Hum, Diplomasi dalam Perspektif  Politik,hlm 137-138. Dalam jurnal antar bangsa, Vol 1 No 2, Juli 2003. Universitas Riau. Pekanbaru
[8] Albright, David and O’Neill, Kevin. Solving the North Korean Nuclear Puzzle. Washington, D.C., Institute for Science and International Security Press, 2000. pp. 57-82.
[9] Diakses dari.http//www.kompas.com// mengenai daftar negara Axis of Evil. Pada tanggal 10 Januari 2009, pukul 14.25 WIB
[10] Charles W. Kegley dan Eugene, R. Witkopf. World Politics: Trend and Transformation. Belmond Wadsworth. 2003, hal 497
[11]Yoshiro Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Filosof Amerika, ahli politik eknomi, New York, Free Press, 1982,hal.38.
[12] Diakses dari. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0403/06/opini/887952.htm Krisis Nuklir Korut Pasca-Dialog Beijing oleh  Faustinus Andrea Peneliti Hubungan Internasional CSIS, Jakarta. Pada tanggal 21 Maret 2009, pukul 16.23 WIB
[13]Diakses dari. http://www.koranindonesia.com/2007/12/20/pemilihan-presiden-dan-perdamaian-di-semenanjung-korea/. Oleh  Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI di Seoul, Republik Korea. Pada tanggal 25 februari 2009 pukul 19.50 WIB
[14] Diakses dari. http://www.ustreas.gov/press/releases/js2720.htm. U.S. Department of the Treasury, “Treasury Designates Banco Delta Asia as Primary Money Laundering Concern under USA PATRIOT Act,” Press Release JS-2720, September 15, 2005,

1 komentar:

  1. What is the merit casino? - Casino deccasino.com
    Best games on roulette · How to make money from 메리트 카지노 playing roulette หาเงินออนไลน์ · How to set odds · Learn how to win at the worrione casino · Know if you should have

    BalasHapus